Olahraga
bola basket pertama kali diperkenalkan di dunia oleh Dr. James Naismith pada
tahun 1891, menggunakan satu buah bola sepak bola dan dua buah keranjang. Pada
awalnya olah raga ini adalah olah raga dengan tingkat resiko cedera yang
rendah. Saat ini, kecepatan tinggi, kontak fisik, dan aggresivitas, merupakan
hal yang umum terjadi pada olah raga bola basket, sehingga menyebabkan makin
tingginya resiko terjadinya cedera. Diperkirakan hampir 1,6 juta cedera terjadi
sehubungan dengan olah raga bola basket1 .
EPIDEMIOLOGI
Pada
atlet bola basket laki-laki, rata-rata terjadinya cedera pada saat pertandingan
adalah 9,9 per 1000, sedangkan pada saat latihan sekitar 4,3 per 1000. Pada
wanita angka cedera, dua kali lebih tinggi pada saat pertandingan, dibandingkan
saat latihan. Pada usia sekolah, resiko terjadinya cedera Sembilan kali lebih
tinggi pada saat pertandingan dibandingkan saat latihan. Pada atlit
professional, angka terjadinya cedera pada laki-laki lebih rendah dibandingkan
dengan wanita. Cedera yang paling banyak terjadi hampir 60% pada ekstremitas
bawah, dimana cedera pada ankle joint
ligament adalah yang paling sering terjadi, baik pada laki-laki ataupun
pada wanita1.
Berdasarkan
mekanisme terjadinya cedera, kontak
fisik yang terjadi pada saat pertandingan dan latihan, dikatakan pada laki-laki
kontak saat pertandingan lebih tinggi, sekitar 52%, dibandingkan pada saat
latihan, 44%, sedangkan pada wanita, kontak fisik yang terjadi adalah 46% saat
pertandingan dan 31% saat latihan1,2.
CEDERA
SPESIFIK PADA BOLA BASKET
Cedera
pada kepala dan wajah
Bola
basket merupakan olah raga dengan tingkat ceddera tertinggi kedua pada daerah
wajah, termasuk mata dan rongga mulut di Amerika Serikat. Pada umumnya daerah
yang sering terkena pada daerah wajah adalah pelipis, bibir, dan dagu. Tipe yang
paling sering pada sport related trauma
adalah cedera pada jaringan lunak dan fraktur pada T-Zone bones, yaitu hidung, zygoma, dan mandibula. Cedera ini
bahkan terjadi secara bersamaan, tergantung jenis dari trauma yang terjadi.
Mekanisme terjadinya cedera, pada umumnya diakibatkan karena adanya tabrakan
antara bony prominence dari pemain,
seperti siku, lutut, kepala, dan tangan atau terjatuh dan terjadi kontak
langsung dengan lapangan permainan1,2.
1. Fraktur pada nasal
Karena
posisinya yang dekat dengan permukaan wajah, maka fraktur pada nasal merupakan
fraktur yang paling sering terjadi pada struktur wajah. Fraktur nasal terjadi
sekitar 50% pada sport related facial
fracture. Persepsi orang bahwa hidung tidak terlihat pada saat bertanding,
menjadi penyebab minimnya penanganan pada fraktur nasal. Pada fraktur nasal
juga harus diperhatikan adanya sumbatan pada jalan napas.
Indikasi
penatalaksanaan pada kasus ini adalah apabila terdapat perdarahan yang jelas
keluar dari hidung, ataupun ada deformitas yang terlihat jelas pada bagian luar
hidung. Apabila terdapat luka terbuka, maka dilakukan irigasi, dan pemberian es
untuk mengurangi bengkak, apabila bengkak berlangsung terus-menerus dan akan
meyulitkan untuk dilakukan reduksi tertutup, maka dapat ditunggu 4 sampai 7
hari sampai bengkak berkurang, kemudian dilakukan splinting pada bagian dalam
dan luar basal, kemudian splint dibuka pada 7 sampai 10 hari. Tulang nasal akan
mengalami penyembuhan dalam 4 sampai 8 minggu. Menurut OSHA ( Occupational Safety and Health Administration ) , atlit yang
mengalami perdarahan harus dikeluarkan dari pertandingan sampai perdarahan
dapat dikontrol dan darah harus dibersihkan dari badan dan seragam. Lakukan
penekanan pada sumber perdarahan, penjahitan, dan adhesive dressing1,2,5.
2. Cedera pada mata
Cedera
yang paling sering pada mata adalah abrasi pada kornea akibat dari trauma yang
ditimbulkan dari jari atau kuku lawan tanding. Pada cedera ini harus diperiksa
kekuatan visual atau visus, dan fungsi dari otot-otot ekstra ocular. Apabila
terdapat abrasi pada kornea, dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fluorosensi
atau lampu biru. Abrasi ini dapat hilang secara spontan dalam 48 sampai 72 jam.
Disarankan untuk merujuk kasus ini ke dokter spesialis mata untuk pemeriksaan
lebih lanjut. Untuk mengurangi resiko terjadinya cedera pada mata, sebagai
perlindungan sebaiknya dipakai pelindung mata ( goggles )1,3.
3. Cedera pada gigi
Cedera
pada gigi dapat terjadi secara permanen, apabila penanganan yang dilakukan
tidak adekuat. Apabila telah datang pada kondisi tersebut, maka untuk
penanganannya membutuhkan biaya yang mahal. Pemasangan pelindung gigi dapat
digunakan sebagai pilihan proteksi1,3.
Cedera pada cervical spine
Pada
umumnya cedera yang terjadi adalah berupa strain dari servikal, dimana terjadi
peregangan pada nerve root. Pemain
biasanya merasakan panas dan tertusuk pada satu sisi ekstremitasnya, atau nyeri
yang menjalar dari leher dan bahu, sampai ke ujung jari. Kekuatan otot pada ekstermitas
harus diperiksa dengan skala 0 sampai 5. Otot deltoid diperiksa, apakah ada
kelainan pada nerve root C5, demikian
juga dengan otot bisep dan trisep, untuk nerve
root C6 dan C7. Aadapun mekanisme trauma yang sering terjadi saat diving merebut bola yang lepas, benturan
pada kepala yang sangat keras yang tidak dapat ditahan oleh konstruksi otot dan
tulang pada servikal, atau peregangan pada brachial
plexus yang dapat menyebabkan neuropraksia1,2,3.
STINGERS
ATAU BURNER
Cedera
ini ditimbulkan akibat adanya peregangan pada nerve root. Mekasime terjadinya cedera adalah pada posisi
hiperekstensi dari leher pemain dengan deviasi ipsilateral dari kepala pemain.
Pemain pada kondisi ini harus diistirahatkan sampai kekuatan otot dan sensasi
kembali seperti semula, dapat dibantu dengan pemberian NSAIDs dan muscle relaxant. Kasus ini dapat kita
diagnosis banding dengan fraktur pada servikal, dan herniasi pada servikal.
Tetapi untuk bola basket kasus fraktur dan herniasi pada servikal sangat jarang
terjadi. Sebagai prognosis, pasien dapat kembali bermain apabila status
neurologis normal dan tercapai full ROM
pada leher1,3,4.
Cedera
pada lumbar spine
Cedera
pada lumbar spine yang berhubungan dengan bola basket biasanya adalah low back strains yang timbul akibat
gerakan meloncat, dan gerakan dengan tingkat benturan yang tinggi, yang
dikombinasikan dengan rotasi ke arah lateral. Secara biomekanik spine, beberapa sindroma dapat kita
diagnosa sehubungan dengan aktivitas yang dilakukan, diantaranya pada saat
flexi, dapat menyebabkan semakin besarnya kanalis vertebralis dan foramina
intervertebra, meningkatkan tekanan pada nerve
root,sedangkan sebaliknya pada posisi ekstensi. Sedangkan gerakan rotasi
dan torsi dpat menyebabkan robekan pada annulus dan herniasi pada diskus.
Secara klinis dapat timbul keluhan nyeri, gerakan yang terbatas, dan adanya defisit
neurologis. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri lokal, deformitas,
defisit neurologis. Adapun kelainan lain yang berhubungan dengan cedera ini
diantaranya thorasic disc herniation,
acute lumbar spine, spondylolisthesis. Untuk penatalaksanaan tergantung
dari kondisi yang ditemukan. Untuk prognosis pada cedera ini, penderita dapat
dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu minimal
risk, moderate risk, extreme risk1,2,3.
Cedera
pada bahu
Sendi
bahu memiliki ROM terbesar apabila dibandingkan dengan sendi lainnya pada tubuh
manusia. Stabilitas dari sendi bahu secara statis ditentukan oleh kapsul sendi,
glenoid labrum, dan ligament glenohumeral, dan secara dinamis melalui kontrol
dari rotator cuff. Beberapa keadaan
yang berhubungan dengan cedera ini diantaranya1,3.
1. Dislokasi
Instabilitas
anterior mempengaruhi hampir 98% dari instabilitas pada sendi bahu pada olah
raga basket. Mekasime terjadinya cedera pada kasus ini biasanya adalah pada
saat melakukan gerakan eksternal rotasi dan elevasi ke arah depan ( forward elevation ). Cedera ini dapat
terjadi pada saat melakukan diving
saat merebut bola, mendarat setelah lompatan dan jatuh pada posisi yang tidak
tepat ( onto outstretched hand ),
atau pada saat melakukan pertahanan dan
posisi tangan terdorong secara paksa ke arah belakang. Cedera yang ditimbulkan
biasanya bersifat akut. Diagnosis didasarkan pada pemeriksaan klinis, dimana
dapat ditemukan nyeri yang bersifat hebat, kadang-kadang terdengar bunyi popping off, kaput humerus dapat teraba
anteroinferior, dan dapat ditemukan adanya defek dibawah akromion, dan pemain
akan sulit untuk menggerakkan bahunya, dan harus dicurigai juga adanya cedera
pada saraf dan pembuluh darah. Pemeriksaan x ray dibutuhkan sebelum dilakukan
suatu tindakan reduksi tertutup1,3,4.
2. Cedera pada rotator cuff
Supraspinatus dan infraspinatus merupakan otot yang paling sering mengalami cedera pada kasus
ini. Adapun mekanisme trauma yang terjadi dapat berupa single trauma event, dan repetitive
microtrauma ( sering terjadi ). Permasalahan pada rotator cuff dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu akut dan
kronis.
Pada
fase akut, biasanya terjadi sebagai suatu hasil dari pergerakan yang tiba-tiba
dan kuat. Gejala yang ditimbulkan termasuk nyeri pada bahu menjalar sampai
pergelangan tangan yang terjadi secara tiba-tiba, nyeri terbatas dari bahu
akibat nyeri atau spasme pada otot, nyeri spesifik pada daerah yang mengalami
cedera ( x-marked spot ).
Pada
fase kronis, biasanya terjadi pada waktu yang lama. Biasanya berhubungan dengan
terjadinya impingement syndrome,
terjadi pada dominant side, nyeri
yang makin bertambah dan kadang-kadang menyebabkan kelemahan, terdapat limitasi
pada pergerakan, terutama saat melakukan gerakan abduksi. Penatalaksanaan pada
fase awal dapat dilakukan RICE dan medikamentosa untuk mengurangi nyeri.
Beberapa pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan, antara lain drop arm test, external rotation lag sign untuk menilai kelainan pada
infraspinatus, lift off test untuk
menilai robekan pada subscapularis, dan Belly-press
test, juga untuk subscapularis1,4.
3. Cedera pada AC joint
Mekanisme
terjadinya cedera pada kasus ini biasanya diakibatkan gerakan mendarat dengan
bahu pada posisi posterolateral. Menurut Rockwood, cedera pada AC joint dapat dibagi menjadi 6 grade. Grade 1, simple sprain
pada AC joint, grade 2, terdapat ruptur pada AC
ligament, grade 3, rupture pada AC
dan CC ligament, dan terjadi pergeseran ke arah posterior, grade 4, pergeseran ke arah posterior, grade 5, superior
displacement, dengan peningkatan coracoclavicular
space 3 sampai 5 kali dari normal. Pada pemeriksaan klinis didapatkan nyeri
dan deformitas pada AC joint.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah RICE, immobilisasi pada sendi, dan
medikasi, operasi diperlukan sesuai dengan indikasi1,4.
Cedera
pada siku
Cedera
pada siku dan pergelangan tangan sering terjadi, tetapi jarang sekali terjadi
suatu fraktur atau dislokasi. Cedera yang mungkin terjadi berupa aberasi,
laserasi, dan olecranon bursitis.
Mekanisme yang biasanya terjadi adalah pada saat melakukan gerakan diving saat merebut bola, malakukan
gerakan pertahanan saat lawan melakukan gerakan menyerang, melakukan rebound sambil menggerakkan bahu1,2.
Olecranon
Bursitis
Juga
dikenal dengan nama miner’s elbow
atau student’s elbow, dimana terjadi
proses inflamasi pada bursa pada olecranon
process daripada ulna, biasa terjadi secara akut atau kronik. Mekanisme
trauma yang terjadi biasanya akibat trauma secara langsung ( mild ) pada bagian posterior dari siku, atau dapat terjadi akibat
trauma repetitive pada jaringan lunak. Pada pemeriksaan klinis didapatkan
bengkak pada bagian belakang siku, terdapat benjolan yang fluktuatif pada siku,
edema pada jaringan lunak sekitar pergelangan tangan, pergerakan tidak
terbatas, status neurologis yang normal. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah
RICE, pemberian NSAIDs, pada kasus yang kronis dapat dilakukan aspirasi dan
injeksi kortikosteroid, dengan elastik verban selama 2 sampai 3 minggu,apabila
terdapat septic bursitis, dapat dilakukan eksisi drainase dan pemberian
antibiotic oral selama 2 minggu. Prognosis pada pasien dengan aseptik
bursitis akan lebih baik, sedangkan
tindakan operatif, membutuhkan waktu lebih kurang 6 minggu untuk pemulihan1,3.
Cedera
pada pergelangan tangan
Mekanisme
trauma yang sering terjadi adalah jatuh di lapangan dengan outstretched hand ketika didorong oleh lawan, dan tidak dapat
mendarat dengan posisi kaki terlebih dahulu. Cedera yang banyak terjadi adalah
Fraktur pada schapoid
Pada pemeriksaan klinis biasanya ditemukan nyeri pada saat kita melakukan palpasi
pada snuff box, bengkak yang cepat
pada bagian belakang dari pergelangan tangan, pasien akan sulit untuk memegang
benda. Penatalaksanaan pada kasus ini, dapat digunakan thumb spica splint,
apabila bengkak sudah berkurang, apabila terdapat displaced fracture, maka
dilakukan tindakan operatif. Beberapa cedera lain yang berhubungan adalah
dislokasi lunatum, dissosiasi dari schapolunate1,2,3.
Cedera
pada jari
Cedera
ini sangat sering terjadi pada atlit bola basket, disebabkan oleh trauma
langsung yang ditimbulkan oleh bola basket itu sendiri pada jari, atau dari
ring basket. Beberapa cedera yang mungkin terjadi antara lain1,3.
1. Swan
Neck Deformity
Dimana
terjadi hiperekstensi dari PIP joint
dan fleksi dari DIP joint. Nalebuff mengklasifikasikan swan neck deformity menjadi 4 tipe,
yaitu tipe 1, PIP joint masih
fleksibel pada semua posisi, tipe 2, gerakan fleksi terbatas pada posisi
tertentu, tipe 3, fleksi PIP joint
terbatas pada semua posisi, tipe 4, terdapat stiffness pada PIP joint1,2,3.
2. Boutonniere
deformity
Dimana
terjadi hiperekstensi dari DIP joint, dengan fleksi dari PIP joint akibat adanya disrupsi pada insersi ekstensor tendon ( central slip ) terhadap base phalank media1,2,3.
3. Mallet
finger
Dimana
terjadi flexion deformity dari DIP joint, apabila terjadi trauma pada
ujung jari yang sedang pada posisi ekstensi, maka akan terjadi avulsi dari
insersi tendon ekstensor ke arah dorsal terhadap distal phalank.
Penatalaksanaan
pada kasus ini adalah dengan melakukan imobilisasi dengan splint selama lebih kurang 6 minggu. Pada mallet finger, tindakan operasi berupa pinning dapat dipertimbangkan untuk mempertahankan reduksi,
perawatan pada jaringan lunak, dan agar atlit dapat segera bermain kembali.
Cedera
pada Quadriceps dan Hamstring
Mekanisme
cedera yang sering terjadi adalah direct
blow dari lutut pemain lain, strain pada otot juga sering terjadi sebagai
akibat dari tegangan yang berlebihan pada otot saat melakukan gerakan bola
basket. Untuk pencegahan, sebaiknya sebelum pertandingan dilakukan pemanasan
yang adekuat, peregangan otot yang adekuat untuk mencegah cedera lebih lanjut.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah RICE, dan fisioterapi bila dibutuhkan.
Cedera
pada lutut
Beberapa
cedera yang mungkin terjadi diantaranya adalah
1. Cedera pada ACL
Cedera
ACL pada atlit basket wanita adalah
empat kali lebih banyak dibandingkan dengan atlit pria, hal ini disebabkan
beberapa faktor, diantaranya adalah faktor hormonal, perbedaan biomekanik ( valgus knee, bentuk pelvis yang lebih besar
pada wanita ). Mekanisme yang mungkin terjadi adalah akibat hiperekstensi,
varus dan internal rotasi, dan gerakan valgus dan eksternal rotasi mungkin
terjadi. Pada pemeriksaan klinis didapatkan hemarthrosis yang besar, Lachman test yang positif, positif Pivot shift test, anterior drawer sign. Untuk konfirmasi diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan MRI. Penatalaksanaan pada kasus ini pada fase akut, terutama pada
pasien aktif, tindakan operatif dibutuhkan. Tindakan rekonstruksi biasanya ditunda
sampai 3 minggu agar bengkak berkurang dan ROM meningkat.
2. Jumper’s
knee ( Patellar Tendinopathy )
Merupakan overuse
injury, pada pemeriksaan didapatkan nyeri pada
beberapa lokasi berikut, insersi dari quadriceps
tendon terhadap superior patellar
pole, insersi patellar tendon terhadap tuberositas tibia, origo dari
patellar tendon ( infrapatellar ligament
) dari inferior patellar pole.
Penatalaksanaan pada kasus ini dapat dibagi menjadi konservatif dan operatif.
Pada konservatif dapat dilakukan quadriceps
muscle strengthening program, muscle
strengthening untuk otot-otot weight
bearing lainnya, seperti calf muscle,
kompres es untuk mengurangi nyeri dan inflamasi, fisioterapi, NSAIDs. Sedangkan
untuk tindakan operatif masih dianggap tidak memberikan hasil yang signifikan1,3,4.
Cedera
pada kaki dan ankle
Beberapa
cedera yang mungkin terjadi antara lain
1. Ankle
sprain
Merupakan
cedera yang paling sering terjadi. Faktor resiko pada penderita yang pernah
mengalami ankle sprain akan lima kali
lebih besar dibandingkan dengan atlit yang belum pernah mengalami ankle sprain. Pemain yang menggunakan
sepatu dengan udara pada tumit, akan empat kali lebih besar terkena ankle sprain dibandingkan dengan yang
tidak menggunakan bantalan udara. Pemain yang tidak melakukan pemanasan yang adekuat
akan 2,5 kali lebih besar kemungkinan terkena ankle sprain. Mekanisme terjadinya trauma biasanya diakibatkan oleh
inversion injury, dimana pemain
mendaratkan kakinya pada kaki pemain lain dan ankle nya terputar1,3,4.
2. Ruptured
Achilles Tendon
Pada
umumnya terjadi pada pemain yang sudah memasuki dekade tiga dan empat dari
umurnya. Mekanisme terjadinya cedera biasanya terjadi secara tiba-tiba, bahkan
terjadi dari gerakan konsentrik dan eksentrik yang tidak terduga dari ankle plantarfleksi1,3,4.
3. Foot
Ligamentous Injury
Yang
sering terjadi adalah medial subtalar
dislocation ( basketball foot ), yaitu dislokasi dari talocalcaneal dan talonavicular
joint, yang diterapi dengan reduksi dan immobilisasi, subtalar sprains, midtarsal (Chopart) joint dislocation, Lisfranc joint
sprains1,3.
4. Fifth
Metatarsal Stress Fracture
Dilakukan
intervensi tindakan operatif berupa pemasangan intramedullary screw, apabila terdapat non union dan sklerosis, maka tindakan bone graft dan debridement
diperlukan1,3,4.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Madden
C, Young C. Netter`s Sport Medicine, Philadelphia. 2010; 517-52
2. Apley
& Solomom. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 7 Edition,
Butterworth Heinemann. 1993
3. Salter
RB: Fracture in Joint Injuries. In: Text Book of Disorder and Injuries of the
Musculoskeletal System. 2sd Edition. William & Wilkin. Baltimore, London.
1983; pp: 349-425
4. Miyasaka
KC, DM Daniel, ML Stone. The incidence of knee ligament injuries in the general
population. Am J Knee Surg. 4:43-48, 1991
5. Mimi T
Chao, MD, Facial Trauma, Sports-Related Injuries, Department
of Plastic and Reconstructive Surgery, St Louis University School of Medicine,
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar